Ustaz Ali, Nelayan yang Sanggup Sekolahkan 9 Anak ke Mesir
Ali Alhamidy bersama istri dan anaknya di depan Piramida, Gaza, Mesir |
Kalau ada yang khawatir punya banyak anak akan memusingkan orangtua, terutama dari sisi pendidikan, tanyalah resepnya pada Muhammad Ali Alhamidy. Pria paroh baya ini dianugerahi banyak anak. Jumlahnya pas untuk satu tim sepakbola. Hebatnya, sembilan anaknya menuntut ilmu ke Mesir.
KEHIDUPAN Ustaz Ali sangat berwarna. Dia dikenal sebagai dai. Kerap diundang di berbagai majelis di Kaltim. Juga, menjadi khatib saat salat Id. Bekerja sebagai nelayan. Tinggal di sebuah kecamatan yang jauh dari pusat kota. Di hulu. Kecamatan Muara Muntai, Kutai Kartanegara (Kukar). Yang paling menarik serta menginspirasi adalah yang ini; dari 11 anaknya, sembilan di antaranya dia sekolahkan di Mesir. Salah satu negara impian para pelajar muslim untuk menuntut ilmu.
Menariknya lagi, tiga anaknya yang terakhir dikirim ke Mesir saat baru lulus SD di Muara Muntai. Anak pertama, Maryam Jamilah, kuliah di Fakultas Syariah, Universitas Al Azhar. Anak kedua, Shibghatullah Ahmad, kini menempuh S-2 di Fakultas Tafsir, Universitas Al Azhar. Anak ketiga, Rahmad Rasyidah, kuliah di Fakultas Fitologi (Cabang Biologi), Universitas Kairo. Sementara itu, anak keempat dan kelima, Saudah dan Salma Syakirah, masing-masing menempuh pendidikan di Fakultas Syariah dan S-2 Fakultas Tafsir di Universitas Al-Azhar.
Empat anaknya yang lain dikirim untuk mondok di Mesir. Yakni, Nawrah Nabilah, Hilwah Habibah, Ridlwan Rabbani, dan Athiya Ulya. Mereka tengah menuntut ilmu di Makhad Al Azhar. Dua anak terakhir, Zainullah Zulfa dan Zainur Rahman saat ini bersekolah di Madrasah Ibtidayah (MI) Nurul Huda, Muara Muntai. "Alhamdulillah, saat ini dua anak saya yang sedang S-2 juga sudah hampir selesai dan masuk tugas akhir. Saya mendorong kembali (ke Mesir) agar dia bisa sampai S-3 di sana," ujar Ustaz Ali saat bincang dengan Kaltim Post di Masjid Al-Ihsan, Jalan Dahlia, Samarinda, Jumat (8/9).
Saat itu, dia baru selesai mengisi ceramah di sebuah majelis taklim. Jamaahnya ramai. Selepas salat Asar, Ustaz Ali meluangkan waktu untuk wawancara. Bercerita seputar aktivitasnya. Dan tentu yang utama tentang keberhasilannya mengirim anak-anaknya berkuliah ke luar negeri. Bukan satu-dua. Tapi sembilan. Sebelum bincang, ustaz yang saat itu mengenakan jubah putih menenggak sebuah vitamin. Demi menjaga kebugaran tubuh. Maklum, dalam seminggu, 70 persen waktunya digunakan untuk berdakwah.
Di banyak tempat. Kebanyakan jauh dari rumahnya di Desa Muara Muntai Ilir, Kecamatan Muara Muntai. Mulai Kukar, Kutai Barat (Kubar), hingga Samarinda. Yang menarik, perjalanan dakwa yang dilakukan dari satu daerah ke daerah lain tak menggunakan kendaraan pribadi. Kebanyakan menumpang angkutan umum. Dalam kondisi tertentu, dia biasanya dijemput oleh pihak jamaah. "Rata-rata sepekan, saya hanya berada di rumah dua hari. Sisanya saya ada di perjalanan atau sedang menjalankan aktivitas dakwah saja," ujarnya.
Ketika di rumah, dia beraktivitas sebagaimana awamnya warga setempat. Nelayan. Dia menyebut tak ada hal yang berbeda antara keseharian yang ia jalankan dengan orang lain. Penghasilan sebagai nelayan serta pemilik keramba, cukup untuk membiayai setengah dari biaya pendidikan anak-anaknya di Mesir.
Ustaz Ali adalah alumnus Pondok Pesantren (ponpes) Persis, Bangil, Jawa Timur. Lulus pada 1985. Sejak saat itu, dia langsung melakukan dakwah dengan membuka pengajian ke berbagai tempat. Selama 15 tahun aktivitas dakwah yang dilakukannya hanya fokus di seputaran Kubar dan Kukar. "Alhamdulillah setelah 15 tahun fokus berdakwah di Kubar dan Kukar, ternyata kebutuhan dakwah warga Samarinda begitu besar. Di Samarinda, saya akhirnya juga mengisi beberapa pengajian rutin hingga sekarang," terangnya.
Meski hanya lulusan aliah atau SMA, namun tekad serta semangat belajar Ali muda begitu besar. Sejumlah ulama dia datangi untuk berguru berbagai ilmu pengetahuan. Sang ayah bernama Sulaiman, merupakan perantauan asal Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sulteng). Perantauan ayahnya saat akhir penjajahan Belanda. Semangat berdakwah juga dipengaruhi sang ayah yang juga pendakwah. Ayahnya juga tercatat pernah berguru dengan ulama ternama saat itu Abdullah Marisie, setelah sebelumnya berkenalan dengan seorang tokoh asal Samarinda. "Ayah saya dulu juga sempat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Sebulu," ungkapnya.
Awalnya, kata dia, sebenarnya tak ada niat khusus untuk menyekolahkan anak di luar negeri. Namun, harapan itu selalu muncul. Sang ustaz pun mencoba berikhtiar. Diawali dari yang paling sederhana. Memberikan motivasi kepada sang anak. Tak luput juga berdoa. Dia pun mulai menyekolahkan tiga anaknya, Shibghatullah Ahmad, Rahmad Rasyidah, dan Maryam Jamilah di Makhad Al Ittihad Al Islami Camplong, Sampang, Madura. Lulus dari pondok pesantren itu (ponpes), tiga anaknya lolos dalam seleksi masuk kuliah di Universitas Al Azhar pada tahun yang berbeda.
"Ketiga anak saya ini lolos untuk kuliah gratis di sana. Jadi tidak ada sama sekali biaya yang dipungut. Tinggal kita memikirkan biaya hidup mereka. Ternyata di sana juga lebih mahal biaya tempat tinggal daripada kebutuhan makan sehari-hari," terangnya.
Dari ketiga anaknya itulah, diperoleh sejumlah informasi terkait biaya masuk pendidikan di Mesir yang gratis. Mereka juga yang memberikan jalan kepada adik-adiknya untuk menempuh pendidikan di Mesir. Semangat seluruh anak-anaknya pun sejak kecil memang sudah tertanam untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Bahkan, empat anaknya yang terakhir menempuh pendidikan di Mesir dari tingkat SD dan SMP.
"Ternyata di Mesir itu banyak sekali peluang sekolah dan kuliah gratis. Bahkan, jumlahnya ribuan kuota. Hanya mungkin banyak yang tidak tahu. Makanya, dari kakak-kakaknya inilah yang memberi jalan kepada adik-adiknya. Saya bahkan berharap semua anak saya sekolah sampai S-3 di sana," tambahnya.
Berdasarkan informasi yang dia peroleh, beasiswa serta pendanaan memang banyak dari donatur ke sejumlah sekolah dan perguruan tinggi. Syaratnya pun relatif mudah. Yang penting kemampuan berbahasa Arab. Untuk sekolah dengan jurusan pendalaman agama, banyak yang gratis. Bahkan mulai SD hingga perguruan tinggi (PT).
"Alhamdulillah sudah ada beberapa yang saya bantu untuk masuk ke Al Azhar Mesir. Yang terpenting selain bisa bahasa Arab, keinginan dari orangtua serta si anak harus kuat. Karena jika salah satunya ragu biasanya akan sulit dijalani. Di satu sisi saya cukup salut dengan kondisi keuangan Al Azhar yang sangat bagus," imbuhnya.
Selama di Mesir, anak-anaknya menyewa tempat tinggal. Yang satu dihuni oleh anak-anaknya yang perempuan, sedangkan yang lain untuk anaknya yang laki-laki. Untuk biaya hidup selama di sana, dalam sebulannya dia mengirimkan Rp 1 juta per orang. Jika pun lebih, jumlahnya tak begitu besar. Dia teringat uang administrasi yang diminta anak pertamanya untuk mengurus masuk kuliah hanya Rp 140 ribu. Sedangkan untuk pendidikan S-2 hanya Rp 2,2 juta. Selanjutnya, dia mengaku tak pernah dimintai anaknya uang kebutuhan perkuliahan.
"Sisanya paling untuk makan serta biaya tempat tinggal. Bisa juga biaya fotokopi atau yang lainnya. Tapi, khusus untuk permintaan dana dari kampus tidak pernah ada," bebernya.
Pengalaman yang paling mengesankan adalah saat keberangkatan anak pertamanya kuliah di luar negeri. Dengan keterbatasan komunikasi saat itu, keluarga kesulitan menghubungi sang anak. Selain tak begitu paham tentang penggunaan media sosial. Dia juga ketika itu tak memiliki smartphone dengan berbagai aplikasi yang canggih.
"Saya pernah selama empat tahun menahan rindu dengan anak saya yang kuliah di sana. Dia memang jarang pulang. Saat itu, saya tidak mengerti menggunakan berbagai aplikasi yang menunjang video call. Saat sudah tahu bisa begitu, istri saya langsung menangis karena terharu bisa melihat wajah anak saya yang berada di luar negeri," katanya.
Selama di luar negeri, dua anaknya yang kini sedang menempuh pendidikan S-2 juga kerap diminta melakukan bimbingan kepada calon mahasiswa dari negara-negara Asia. Yang paling banyak dari Malaysia. Selain percepatan adaptasi, bimbingan ini juga untuk memudahkan calon mahasiswa baru mengetahui berbagai kebutuhan selama di sana. Apalagi, menurut dia, di Malaysia tidak ada pesantren seperti di Indonesia.
Soal motivasinya menyekolahkan anak-anak ke Mesir, dia menaruh harapan kepada anak-anaknya bisa membangun Kaltim dari sisi religius. Terutama kalangan elite yang bisa dia jangkau dengan mudah dengan status pendidikan dan kemampuan yang lebih matang. Dia juga menyampaikan, anak keduanya Shibgatullah Ahmad baru-baru ini sempat datang ke Samarinda karena diminta menjadi khatib salat Iduladha. "Saya berharap, jangkauan dakwah anak saya ini bisa menjangkau lebih luas lagi daripada saya. Tentunya dengan status pendidikan yang lebih matang ini," imbuhnya.
Ustaz Ali juga sempat membeberkan jika sebenarnya tidak anti dengan program keluarga berencana (KB). Bahkan, saat istrinya melahirkan anak kelima, dia sempat melakukan program KB dengan berkonsultasi di puskesmas. Namun, belakangan istrinya tidak merasa nyaman. Akhirnya, dia tak lagi melanjutkan program KB. Di sisi lain, garis keturunan dia dan istrinya juga termasuk subur. Untuk keluarga seayah, dia mengaku memiliki sembilan saudara. Sedangkan untuk saudara seayah dan seibu, memiliki enam orang saudara.
"Saya pun bersyukur kepada Allah karena telah menghilangkan kecemasan terkait kebutuhan ekonomi jika anak banyak. Sebagai dai, saya juga menepis khawatir akan mengganggu gerak dakwah saya dengan banyak anak. Apa yang dikhawatirkan dengan ekonomi jika anak banyak, hal itu sebenarnya tidak benar," ungkapnya.
Suami Asmiati itu juga memiliki sejumlah pengalaman lain saat berdakwah. Dua tahun lalu, dia sempat mengalami kecelakaan tunggal saat menumpangi sebuah mobil yang hendak menuju Kubar. Mobil yang hilang kendali sempat berputar sebanyak tiga kali. Beruntung, dia tak mengalami luka sedikit pun. Jamaah pengajian Ustaz Ali pun terbilang beragam. Mulai masyarakat biasa hingga sejumlah tokoh serta pejabat publik. Di antaranya merupakan kepala daerah di Kaltim serta anggota legislatif.
"Pada intinya, saya ingin sekali menyampaikan berbagai pesan moral untuk perbaikan moral itu sendiri. Makanya, ada beberapa pejabat yang sering meminta masukan saya saat mengambil kebijakan. Mereka pun akhirnya juga jauh dari sorotan ketika berprinsip pada perbaikan moral tersebut. Karena untuk membangun bangsa ini, memang perlu orang-orang yang bermoral," tutur pria kelahiran 1966 itu.
Sumber: http://kaltim.prokal.co/read/news/311335-ustaz-ali-nelayan-yang-sanggup-sekolahkan-9-anak-ke-mesir.html
Komentar
Posting Komentar